Sabtu, 21 Maret 2020

Memahami Implementasi dari Pendidikan Inklusi

    


   A.    Implementasi Inklusif
     Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D (2003:53-58) adalah; (1) Kebijakan – hukum – undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang mengakomodasi implementasinya; (2) Sikap – pengalaman – pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan dan potensinya; (3) Kurikulum lokal, reginal dan nasional; (4) Perubahan pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan penelitian; (5) kerjasama lintas sektoral; (6) Adaptasi lingkungan, dan (7) penciptaan lapangan kerja.
     Di Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis, implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa :
a.       Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
b.      Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda
c.       Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan pemerintah
d.      Setiap anak berhak mendapat pendidikaan yang layak
e.       Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada :
a.       UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1). (2)
b.      U U D 1945 Pasal 31 ayat (1) & (2), dan (3)
c.       Permen No 22 dan 23 Tahun 2006
a)      Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948
b)      Konvensi Hak Anak, 1989
c)      Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
d)     Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
e)      Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
f)       Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen “pendidikan inklusif’.
     Kendati demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus termasuk diantaranya  anak-anak yang berkemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.

     B.     Kerjasama dengan berbagai pihak
     Idealnya, implementasi pendidikan inklusif di setiap sekolah perlu di dukung oleh sebuah lembaga supporting. Salah satu lembaga yang di harapkan muncul adalah resource center(pusat penanganan ABK). Penanganan anak-anak pada umumnya dalam setting pendidikan inklusif, bisa jadi cukup ditangani oleh sekolah regular penyelenggara inklusif tersebut ada ABK( ingat, pendidikan inklusif tidak hanya untuk ABK, namun untuk kepentingan semua anak), maka penanganannya perlu mendapatkan dukungan dari pihak lain, salah satunya yang sangat diharapkan yaitu lembaga pusat sumber.
     Pusat sumber sebaiknya dibentuk oleh pemerintah, agar bisa menjangkau lebih banyak sekolah-sekolah regular. Setidaknya setiap kabupaten/kota terdapat satu lembaga pemerintah dibawah dinas pendidikan( setingkat UPT). Muncul nya gagasan lembaga pusat sumber di Indonesia selama ini masih belum mengembirakan. Sebenarnya gagasan  berdiri nya pusat sumber sudah di rintis  setidaknya pada tahun 2000an. Gagasan pusat sumber akan memanfaatkan sekolah-sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa ada yang di tunjuk sebagai pendukung dan ada yang di tunjuk sebagai imbas. Konsep/gagasan tersebut sempat luntur kerena gejolak otonomi daerah dan sekarang masih belum jelas nasibnya.
     DI-era otonomi daerah sekarang  ini justru gerakan untuk mempunyai pusat sumber masih menggelora. Konsep memanfaatkan sekolah-sekolah luar biasa dirasa masih menjadi solusi di beberapa daerah.    

    C.    Penyelenggaraan pendidikan Inklusi
§  Sekolah Inklusi
          Sekolah inklusi adalah suatu pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus dan atau yang mengalami hambatan dalam akses pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bersama-sama dengan peserta didik lain pada umunya.
          Stainback (1980) menyatakan bahwa sekolah penyelenggaraan pendidikan khusus Inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid dikelas yang sama, sekolah harus menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid. Artinya,  sekolah tersebut menanyakan bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil dalam belajar sesuai dengan potensinya. Dengan kata lain, sekolah penyelenggaraan inklusi harus aksesibel terhadap semua peserta didik sesuai dengan hambatan yang dialami dan potensi serta kebutuhan pengembangannya yang beragam, baik dalam hal kebijakan manajemen, sarana dan prasarana, kurikulum dan pembelajaran, evaluasi maupun pembiayaan pendidikan.
§  Kriteri sekolah penyelenggaran pendidikan inklusi
          Menurut Suparno dkk (2007:2-23) sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditentukan, antara lain : keberadaan siswa berkebutuhan khusus, konsisten terhadap pendidikan inklus, manajemen sekolah, sarana dan prasarana serta ketenagaan.
Adapun kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yaitu:
1.      Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua).
2.      Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah.
3.      Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain).
4.      Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar.
5.      Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan.
6.      Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak.
7.      Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan  inklusif.
8.      Sekolah tersebut telah terakreditasi.
9.      Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan.

    D.    Elemen – elemen pendidikan Inklusi
1.      Welcoming School
          Dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka dan menjadi sekolah yang siaga. Raham dimaksudkan sebuah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan, nyaman dan aman bagi setiap warga sekolah. Terbuka artinya setiap warga masyrakata (terutama masyarakat sekitarnya) bisa dan mudah mengakses sekolah sebagai tempat untuk belajar, tanpa ada diskriminasi. Siaga artinya sekolah menjadi tempat untuk meningkatkan sumber daya, mengatasi berbagai permaslahan, bahkan diharapkan bisa mengentaskan masyarkatan dari keterpurukan masa depan. Langkah yang dapat dilakukan untuk mendapat peringkat welcoming school :
1.      Peraturan sekolah yang ramah
2.      Jemput bola dengan melakukan pendataan dan memotivasi msyarakat untuk bersekolah.
3.      Mempertimbangkan aksibilitas
4.      Mempunyai tempat untuk aktivitas orang tua anak.
5.      Sekolah yang melindungi siswa dari bahaya kecelakaan, penculikan, peredaran narkoba dan kekerasan.
6.      Sekolah yang mempertimbangkan kesehatan.
  2.    Welcoming Teacher
            Munculnya pardigma pendidikan inklusi, selain memiliki kompetensi guru juga diharuskan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming teacher dimaknai menjadi guru yang ramah. Cakupannya tidak hanya lemah lembut dan santun tetapi arti luas yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam 3 ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan lebih mengutamakan kebutuhan kognitif.
            Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi welcoming teacher adalah sebagai berikut :
1.      Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik, termasuk kesehatan, intelegensi anak, sifat/karakter anak, dsb.
2.      Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan hukuman atau panisment.
3.      Guru yang tidaak mempermalukan anak.
4.      Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh anak lain.
5.      Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa.
6.      Guru yang segera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar siswa.
7.      Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak.
8.      Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua anak dan pihak lainnya.
  3.    Menekankan Kerjasama Daripada Persaingan
            Tidak bisa dipungkiri kompetisi cukup efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar bahkan prestasi belajar siswa. Namun bisakan motivasi dimunculkan dengan cara yang ramah ? tentu bisa dengan cara menekankan kerjasama daripada persaingan. Aktifitas kerjasama dalam belajar menjadi unsure yang penting dalam mengimplementasikan paradigma pendidikan inkludi.
            Kerja sama akan mendidik siswa menjadi manusia yang santun, berlatih empati dan mengasah kepedulian sosial. Juga kan membuat siswa saling melengkapi dan menerima. Kerja sama membuat semua siswa tidak ada yang tidak berperan. Kesempurnaan akan tercipta jika kita melakukan kerja sama. Membiasakan kerja sama membuat manusia berbudaya, berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi sesama.
  4.    Kurikulum yang Fleksibel
            Sekolah tidak harus membuat kurikulum tersendiri. Kurikulum yajng dipakai adalah kurikulum yang berlaku disekolah tersebut namun kurikulum yang dipakai harus berpeluang untuk dimodifikasi, manakala ada siswa yang mengalami hambatan untuk diterapkannya kurikulum yang ada atau ada siswa yang justru bisa melampaui kurikulum yang ada. Kurikulum yang demikian disebut kurikulum yang fleksibel. Modifikasi kurikulum perlu dilakukan agar setiap siswa mendapat pembelajaran yang sesuai dengan kondisi individual siswa. Penetapan siswa yang memerlukan modifikasi kurikulum ditentukan dari hasil identifikasi dan asesmen.
5.      Perlunya Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Teori tentang paradigma pendidikan inklusif sebenarnya terdapat profesi yang disebut itinerant teacher dan special teacher. Itenerant teacher adalah guru yang sudah ada  di anggap professional dalam penanganan ABK. Itenerant teacher lebih banyak bertugas sebagai konsultan dan berkedudukan/ berkantor di sekolah umum/regular. Special teacher direkrut dari sarjana special need education ( di Indonesia Sarjana PLB) atau direkrut dari guru regular yang spesifik mendapatkan trining tentang penanganan ABK. Guru khusus tersebut langsung secara praktis bekerjasama dengan guru kelas untuk menangani hambatan belajar anak termasuk hambatan belajar dari anak- anak yang tergolong ABK. Jabatan itinerant teacher berasal dari guru-guru yang mempunyai prestasi sebagai special teacher. Di Indonesia sepertinya yang berkembang adalah GPK yang lebih  mirip dengan istilah  special teacher. Implementasi profesi yang mirip itinerant teacher sepertinya masih jauh.

    E.     Layanan dalam pendidikan Inklusi
     Layanan dalam pendidikan inklusi harus memperhatikan hasil identifikasi dan assement anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil identifikasi dan assement tersebut dikembangkan berbagai kemungkinan alternative program pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa alternatif program pelayanan sesuai dengan kebutuhan peserta didik diantaranya adalah:
a.       Layanan Pendidikan Penuh
          Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar bersama didalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya. Sedangkan peran Guru Pendidikan Khusus (GPK) bertanggung jawab dalam pembuatan program, monitor pelaksanaan programdan mengevaluasi hasil pelaksanaan program.
b.      Layanan pendidikan yang dimodifikasi
          Anak berkebutuhan khusus mengikuti belajar bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya untuk mata pelajaran dan aktivitas yang dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI).
c.       Layanan pendidikan individualism
          Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama anak pada umunya dalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan PPI.Jika memang ada anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan belajarnya tersebut bisa mengganggu anak-anak lainnya (misalnya ada anak Autis sedang tantrum), maka diperkenankan untuk sementra layanan individual dilakukan diluar kelasnya yaitu dengan cara ditarik dari kelasnya dan jika telah selesai maka anak tersebut dikembalikan ke kelasnya.
     Untuk memperlancar pelaksaan ketiga alternatif program layanan tersebut perlu didukung oleh unit khusus yang berfungsi sebagai supporting program pendidikan inklusi. Supporting program yang dimaksud dapat berbentuk: layanan remedial, layanan bimbingan, layanan latihan dan pengembangan, layanan assement, dan layanan observasi.

    F.     Manajemen Sekolah Inklusi
       Upaya peningkatan mutu pendidikan disekolah inklusi perlu didukung oleh kemampuan manajerial Kepala Sekolah. Kepala Sekolah hendaknya berupaya untuk mendayagunakan sumber-sumber daya, baik personal maupun sarana prasarana secara optimal guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan disekolah. Tidak kalah pentingnya sekolah harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan dan karakteristik peserta didik agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill). Ruang lingkup manajemen sekolah dalam rangka pendidikan inklusi sekurang-kurangnya mencakup :
1)    Pengelolaan peserta didik
2)    Pengelolaan kurikulum
3)    Pengelolaan pembelajaran
4)    Pengelolaan penilaian
5)    Pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
6)    Pengelolaan sarana dan prasarana
7)    Pengelolaan pembiayaan
8)    Pengelolaan sumberdaya masyarakat.

G.    Identifikasi dan Asesment dalam Penerimaan Peserta Didik di Sekolah Inklusi
Ø  Identifikasi
          Setiap guru harus mengetahui latar belakang dan kebutuhan masing-masing peserta didik. Tujuannya agar dapat memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat. Halini disebabkan karena setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda, baik karena faktor yang bersifat permanen seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupunyang tida permanen seperti, masalah sosial, bencana alam, dan lain-lain. Oleh  karena itu penting bagi guru memiliki kemampuan mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui ada tidaknya anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
·         Hakekat Identifikasi ABK
   Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assessment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksud sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga pendidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan dan penyimpangan (phisik, intelektul, sosial, emosional, tingkah laku) dalam rangka memberikan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukanya anak –anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.
·         Tujuan
   Identifikasi anak berkebutuhan  khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:
a.       Penjaringan (screening)
b.      Pengalih tanganan (referral)
c.       Klasifikasi
d.      Perencanaan pembelajaran, dan
e.       Pemantauan kemajuan belajar
Ø  Asesmen
          Dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan data dan/atau informasi (termasuk di dalamnya pengolahan dan pendukumentasian) secara sistematis tentang suatu atribut, orang atau objek, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif tentang jumlah, keadaan, kemampuan atau kemajuan suatu atribut, objek atau orang/individu yang dinilai, tanpa merujuk pada keputusan nilai (value judgement).
          Dalam pelaksanaan assessment pembelajaran guru secara umum dihadapkan pada 3 (tiga) istilah yang sering dikacaukan pengertiannya atau bahkan sering pula digunakan secara bersama, yaitu istilah pengukuran, penilaian, dan tes.
1.      Pengukuran
Dalam proses pembelajaran guru juga melakukan pengukuran terhadap proses dan hasil belajar yang hasilnya berupaangka - angka yang mencerminkan capaian dan proses dan basil belajar tersebut.
2.      Evaluasi
Evaluasi adalah proses pemberian makna atau ketetapan kualitas basil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria ini dapat berupa proses/kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok dan berbagai patokan yang lain.
3.      Tes
Tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaannya terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu.
Ada dua jenis assesmen yang biasa dilakukan secara khusus, yaitu :
1)      Asesmen Fungsional
Asesmen dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru sekolah.
2)      Asesmen Klinis
Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga professional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, assessment untuk mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik disekolah maupun dilingkungan masyarakat.
Fungsi Asesmen untuk ABK :
a.       Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan screening/ penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem belajar.
b.      Fungsi pengalih tanganan/referral, adalah sebagai alat untuk mengalih tangankan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwan maupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan professional lain.
c.       Fungsi perncanaan pembelajaran individu (pendidikan inklusif), dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi social.
d.      Fungsi monitoring kemauan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi evaluasi program. Adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah dilaksanakan



DAFTAR PUSTAKA
Mudjito,dkk. 2014. Pendidikan Layana Khusus Model-Model dan Implementasi. Jakarta: Badouse Media
Smith, David. 2015. Sekolah untuk Semua. Bandung : Penerbit Nuansa Cendekia
Uno, Hamzah. B dan Koni, Satria. 2014. Assessment Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Yuwono, imam., Utomo. 2015. Pendidikan Inklusi Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin: Putaka Banua<meta name="google-site-verification" content="7XQKoqDFI0YgE3iWMumZFgPes8c1syMjDgt3gD9HueI" />

Tidak ada komentar:

Posting Komentar