Sabtu, 21 Maret 2020

Memahami Implementasi dari Pendidikan Inklusi

    


   A.    Implementasi Inklusif
     Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D (2003:53-58) adalah; (1) Kebijakan – hukum – undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang mengakomodasi implementasinya; (2) Sikap – pengalaman – pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan dan potensinya; (3) Kurikulum lokal, reginal dan nasional; (4) Perubahan pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan penelitian; (5) kerjasama lintas sektoral; (6) Adaptasi lingkungan, dan (7) penciptaan lapangan kerja.
     Di Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis, implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa :
a.       Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
b.      Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda
c.       Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan pemerintah
d.      Setiap anak berhak mendapat pendidikaan yang layak
e.       Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada :
a.       UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1). (2)
b.      U U D 1945 Pasal 31 ayat (1) & (2), dan (3)
c.       Permen No 22 dan 23 Tahun 2006
a)      Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948
b)      Konvensi Hak Anak, 1989
c)      Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
d)     Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
e)      Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
f)       Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen “pendidikan inklusif’.
     Kendati demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus termasuk diantaranya  anak-anak yang berkemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.

     B.     Kerjasama dengan berbagai pihak
     Idealnya, implementasi pendidikan inklusif di setiap sekolah perlu di dukung oleh sebuah lembaga supporting. Salah satu lembaga yang di harapkan muncul adalah resource center(pusat penanganan ABK). Penanganan anak-anak pada umumnya dalam setting pendidikan inklusif, bisa jadi cukup ditangani oleh sekolah regular penyelenggara inklusif tersebut ada ABK( ingat, pendidikan inklusif tidak hanya untuk ABK, namun untuk kepentingan semua anak), maka penanganannya perlu mendapatkan dukungan dari pihak lain, salah satunya yang sangat diharapkan yaitu lembaga pusat sumber.
     Pusat sumber sebaiknya dibentuk oleh pemerintah, agar bisa menjangkau lebih banyak sekolah-sekolah regular. Setidaknya setiap kabupaten/kota terdapat satu lembaga pemerintah dibawah dinas pendidikan( setingkat UPT). Muncul nya gagasan lembaga pusat sumber di Indonesia selama ini masih belum mengembirakan. Sebenarnya gagasan  berdiri nya pusat sumber sudah di rintis  setidaknya pada tahun 2000an. Gagasan pusat sumber akan memanfaatkan sekolah-sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa ada yang di tunjuk sebagai pendukung dan ada yang di tunjuk sebagai imbas. Konsep/gagasan tersebut sempat luntur kerena gejolak otonomi daerah dan sekarang masih belum jelas nasibnya.
     DI-era otonomi daerah sekarang  ini justru gerakan untuk mempunyai pusat sumber masih menggelora. Konsep memanfaatkan sekolah-sekolah luar biasa dirasa masih menjadi solusi di beberapa daerah.    

    C.    Penyelenggaraan pendidikan Inklusi
§  Sekolah Inklusi
          Sekolah inklusi adalah suatu pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus dan atau yang mengalami hambatan dalam akses pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bersama-sama dengan peserta didik lain pada umunya.
          Stainback (1980) menyatakan bahwa sekolah penyelenggaraan pendidikan khusus Inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid dikelas yang sama, sekolah harus menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid. Artinya,  sekolah tersebut menanyakan bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil dalam belajar sesuai dengan potensinya. Dengan kata lain, sekolah penyelenggaraan inklusi harus aksesibel terhadap semua peserta didik sesuai dengan hambatan yang dialami dan potensi serta kebutuhan pengembangannya yang beragam, baik dalam hal kebijakan manajemen, sarana dan prasarana, kurikulum dan pembelajaran, evaluasi maupun pembiayaan pendidikan.
§  Kriteri sekolah penyelenggaran pendidikan inklusi
          Menurut Suparno dkk (2007:2-23) sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditentukan, antara lain : keberadaan siswa berkebutuhan khusus, konsisten terhadap pendidikan inklus, manajemen sekolah, sarana dan prasarana serta ketenagaan.
Adapun kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yaitu:
1.      Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua).
2.      Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah.
3.      Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain).
4.      Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar.
5.      Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan.
6.      Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak.
7.      Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan  inklusif.
8.      Sekolah tersebut telah terakreditasi.
9.      Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan.

    D.    Elemen – elemen pendidikan Inklusi
1.      Welcoming School
          Dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka dan menjadi sekolah yang siaga. Raham dimaksudkan sebuah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan, nyaman dan aman bagi setiap warga sekolah. Terbuka artinya setiap warga masyrakata (terutama masyarakat sekitarnya) bisa dan mudah mengakses sekolah sebagai tempat untuk belajar, tanpa ada diskriminasi. Siaga artinya sekolah menjadi tempat untuk meningkatkan sumber daya, mengatasi berbagai permaslahan, bahkan diharapkan bisa mengentaskan masyarkatan dari keterpurukan masa depan. Langkah yang dapat dilakukan untuk mendapat peringkat welcoming school :
1.      Peraturan sekolah yang ramah
2.      Jemput bola dengan melakukan pendataan dan memotivasi msyarakat untuk bersekolah.
3.      Mempertimbangkan aksibilitas
4.      Mempunyai tempat untuk aktivitas orang tua anak.
5.      Sekolah yang melindungi siswa dari bahaya kecelakaan, penculikan, peredaran narkoba dan kekerasan.
6.      Sekolah yang mempertimbangkan kesehatan.
  2.    Welcoming Teacher
            Munculnya pardigma pendidikan inklusi, selain memiliki kompetensi guru juga diharuskan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming teacher dimaknai menjadi guru yang ramah. Cakupannya tidak hanya lemah lembut dan santun tetapi arti luas yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam 3 ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan lebih mengutamakan kebutuhan kognitif.
            Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi welcoming teacher adalah sebagai berikut :
1.      Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik, termasuk kesehatan, intelegensi anak, sifat/karakter anak, dsb.
2.      Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan hukuman atau panisment.
3.      Guru yang tidaak mempermalukan anak.
4.      Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh anak lain.
5.      Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa.
6.      Guru yang segera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar siswa.
7.      Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak.
8.      Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua anak dan pihak lainnya.
  3.    Menekankan Kerjasama Daripada Persaingan
            Tidak bisa dipungkiri kompetisi cukup efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar bahkan prestasi belajar siswa. Namun bisakan motivasi dimunculkan dengan cara yang ramah ? tentu bisa dengan cara menekankan kerjasama daripada persaingan. Aktifitas kerjasama dalam belajar menjadi unsure yang penting dalam mengimplementasikan paradigma pendidikan inkludi.
            Kerja sama akan mendidik siswa menjadi manusia yang santun, berlatih empati dan mengasah kepedulian sosial. Juga kan membuat siswa saling melengkapi dan menerima. Kerja sama membuat semua siswa tidak ada yang tidak berperan. Kesempurnaan akan tercipta jika kita melakukan kerja sama. Membiasakan kerja sama membuat manusia berbudaya, berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi sesama.
  4.    Kurikulum yang Fleksibel
            Sekolah tidak harus membuat kurikulum tersendiri. Kurikulum yajng dipakai adalah kurikulum yang berlaku disekolah tersebut namun kurikulum yang dipakai harus berpeluang untuk dimodifikasi, manakala ada siswa yang mengalami hambatan untuk diterapkannya kurikulum yang ada atau ada siswa yang justru bisa melampaui kurikulum yang ada. Kurikulum yang demikian disebut kurikulum yang fleksibel. Modifikasi kurikulum perlu dilakukan agar setiap siswa mendapat pembelajaran yang sesuai dengan kondisi individual siswa. Penetapan siswa yang memerlukan modifikasi kurikulum ditentukan dari hasil identifikasi dan asesmen.
5.      Perlunya Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Teori tentang paradigma pendidikan inklusif sebenarnya terdapat profesi yang disebut itinerant teacher dan special teacher. Itenerant teacher adalah guru yang sudah ada  di anggap professional dalam penanganan ABK. Itenerant teacher lebih banyak bertugas sebagai konsultan dan berkedudukan/ berkantor di sekolah umum/regular. Special teacher direkrut dari sarjana special need education ( di Indonesia Sarjana PLB) atau direkrut dari guru regular yang spesifik mendapatkan trining tentang penanganan ABK. Guru khusus tersebut langsung secara praktis bekerjasama dengan guru kelas untuk menangani hambatan belajar anak termasuk hambatan belajar dari anak- anak yang tergolong ABK. Jabatan itinerant teacher berasal dari guru-guru yang mempunyai prestasi sebagai special teacher. Di Indonesia sepertinya yang berkembang adalah GPK yang lebih  mirip dengan istilah  special teacher. Implementasi profesi yang mirip itinerant teacher sepertinya masih jauh.

    E.     Layanan dalam pendidikan Inklusi
     Layanan dalam pendidikan inklusi harus memperhatikan hasil identifikasi dan assement anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil identifikasi dan assement tersebut dikembangkan berbagai kemungkinan alternative program pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa alternatif program pelayanan sesuai dengan kebutuhan peserta didik diantaranya adalah:
a.       Layanan Pendidikan Penuh
          Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar bersama didalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya. Sedangkan peran Guru Pendidikan Khusus (GPK) bertanggung jawab dalam pembuatan program, monitor pelaksanaan programdan mengevaluasi hasil pelaksanaan program.
b.      Layanan pendidikan yang dimodifikasi
          Anak berkebutuhan khusus mengikuti belajar bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya untuk mata pelajaran dan aktivitas yang dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI).
c.       Layanan pendidikan individualism
          Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama anak pada umunya dalam komunitas kelas yang beragam dibawah bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan PPI.Jika memang ada anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan belajarnya tersebut bisa mengganggu anak-anak lainnya (misalnya ada anak Autis sedang tantrum), maka diperkenankan untuk sementra layanan individual dilakukan diluar kelasnya yaitu dengan cara ditarik dari kelasnya dan jika telah selesai maka anak tersebut dikembalikan ke kelasnya.
     Untuk memperlancar pelaksaan ketiga alternatif program layanan tersebut perlu didukung oleh unit khusus yang berfungsi sebagai supporting program pendidikan inklusi. Supporting program yang dimaksud dapat berbentuk: layanan remedial, layanan bimbingan, layanan latihan dan pengembangan, layanan assement, dan layanan observasi.

    F.     Manajemen Sekolah Inklusi
       Upaya peningkatan mutu pendidikan disekolah inklusi perlu didukung oleh kemampuan manajerial Kepala Sekolah. Kepala Sekolah hendaknya berupaya untuk mendayagunakan sumber-sumber daya, baik personal maupun sarana prasarana secara optimal guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan disekolah. Tidak kalah pentingnya sekolah harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan dan karakteristik peserta didik agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill). Ruang lingkup manajemen sekolah dalam rangka pendidikan inklusi sekurang-kurangnya mencakup :
1)    Pengelolaan peserta didik
2)    Pengelolaan kurikulum
3)    Pengelolaan pembelajaran
4)    Pengelolaan penilaian
5)    Pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
6)    Pengelolaan sarana dan prasarana
7)    Pengelolaan pembiayaan
8)    Pengelolaan sumberdaya masyarakat.

G.    Identifikasi dan Asesment dalam Penerimaan Peserta Didik di Sekolah Inklusi
Ø  Identifikasi
          Setiap guru harus mengetahui latar belakang dan kebutuhan masing-masing peserta didik. Tujuannya agar dapat memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat. Halini disebabkan karena setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda, baik karena faktor yang bersifat permanen seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupunyang tida permanen seperti, masalah sosial, bencana alam, dan lain-lain. Oleh  karena itu penting bagi guru memiliki kemampuan mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui ada tidaknya anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
·         Hakekat Identifikasi ABK
   Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assessment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksud sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga pendidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan dan penyimpangan (phisik, intelektul, sosial, emosional, tingkah laku) dalam rangka memberikan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukanya anak –anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.
·         Tujuan
   Identifikasi anak berkebutuhan  khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:
a.       Penjaringan (screening)
b.      Pengalih tanganan (referral)
c.       Klasifikasi
d.      Perencanaan pembelajaran, dan
e.       Pemantauan kemajuan belajar
Ø  Asesmen
          Dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan data dan/atau informasi (termasuk di dalamnya pengolahan dan pendukumentasian) secara sistematis tentang suatu atribut, orang atau objek, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif tentang jumlah, keadaan, kemampuan atau kemajuan suatu atribut, objek atau orang/individu yang dinilai, tanpa merujuk pada keputusan nilai (value judgement).
          Dalam pelaksanaan assessment pembelajaran guru secara umum dihadapkan pada 3 (tiga) istilah yang sering dikacaukan pengertiannya atau bahkan sering pula digunakan secara bersama, yaitu istilah pengukuran, penilaian, dan tes.
1.      Pengukuran
Dalam proses pembelajaran guru juga melakukan pengukuran terhadap proses dan hasil belajar yang hasilnya berupaangka - angka yang mencerminkan capaian dan proses dan basil belajar tersebut.
2.      Evaluasi
Evaluasi adalah proses pemberian makna atau ketetapan kualitas basil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria ini dapat berupa proses/kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok dan berbagai patokan yang lain.
3.      Tes
Tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaannya terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu.
Ada dua jenis assesmen yang biasa dilakukan secara khusus, yaitu :
1)      Asesmen Fungsional
Asesmen dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru sekolah.
2)      Asesmen Klinis
Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga professional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, assessment untuk mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik disekolah maupun dilingkungan masyarakat.
Fungsi Asesmen untuk ABK :
a.       Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan screening/ penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem belajar.
b.      Fungsi pengalih tanganan/referral, adalah sebagai alat untuk mengalih tangankan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwan maupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan professional lain.
c.       Fungsi perncanaan pembelajaran individu (pendidikan inklusif), dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi social.
d.      Fungsi monitoring kemauan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi evaluasi program. Adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah dilaksanakan



DAFTAR PUSTAKA
Mudjito,dkk. 2014. Pendidikan Layana Khusus Model-Model dan Implementasi. Jakarta: Badouse Media
Smith, David. 2015. Sekolah untuk Semua. Bandung : Penerbit Nuansa Cendekia
Uno, Hamzah. B dan Koni, Satria. 2014. Assessment Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Yuwono, imam., Utomo. 2015. Pendidikan Inklusi Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin: Putaka Banua<meta name="google-site-verification" content="7XQKoqDFI0YgE3iWMumZFgPes8c1syMjDgt3gD9HueI" />

Kamis, 19 Maret 2020

Pendidikan Segregasi, Integrasi dan ancaman sekolah Inklusi



Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang masyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah – sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman – teman seusianya. Hal ini berkenaan dengan adanya hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang baik. Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat kondisi ekonomi, ataupun kelainannya.
Gagasan utama mengenai pendidikan inklusif ini menurut Johnson (2003:181), adalah sebagai berikut:
1)      Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok reguler.
2)      Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.

3)      Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan invidual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, tentulah sekolah umum yang telah memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa persyaratan yang dimaksud diantaranya berkenaan dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen, manajemen sekolah, sarana prasarana, dan ketenagaan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusis haruslah memiliki siswa berekebutuhan khusus, memiliki komitmen terhadap pendidikan inklusi, penuntasan wajib belajar maupun terhadap komite sekolah. Selain itu juga harus memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga – lembaga terkait, yang didukung dengan adanya fasilitas dan sarana pembelajaran yang mudah di akses oleh semua anak.
Ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki guru pendidikan inklusi, sebagaimana dikemukakan Mirriam S (2006), yaitu :
1)      Pengetahuan tentang perkembangan anak.
2)      Pemahaman akan kebutuhan dan nilai interaksi komunikasi dan pentingnya dialog di kelas.
3)      Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan diri anak berkaitan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasi sumber.
4)      Pemahaman tentang “Konvensi Hak Anak” dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak.
5)      Pemahaman tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan metode dan bahan pembelajaran.
6)      Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis.
7)      Pemahaman pentingnya evaluasi dan asesmen berkesinambungan oleh guru.
8)      Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran yang berdeferensi.
9)      Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kecacatan fisik atau mental.
Pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan akan implementasi pendekatan dan metode baru.

1.      Pendidikan Segregrasi
Hakikat Pendidikan segregatif merupakan sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
System pendidikan segregasi merupakan system pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, system ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa Braille, orientasi mobilitas.
Fasilitas dan sarana Pendidikan segregatif
·         Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
·         Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
·         Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai disability anak.
·         Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability.
·         Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan system segregasi, yaitu:
a)      Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah.
b)      Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelola asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelola sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama.
c)      Kelas jauh/ Kelas Kunjung
Kelas jauh/ Kelas Kunjung merupakan lembaga yang diadakan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelas jauh/ kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintahan dalam rangka menuntun wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah=sekolah yang khusus mendidik mereka masih sanagt terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/ kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas.
d)     Sekolah Dasar Luar Biasa
Sekolah Dasar Luar Biasa merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu tiap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa. Tenaga kependidikan  di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama dan guru olahraga.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang sesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan kegunaan masing-masing pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individual.

·         Keunggulan dan kelemahan pendidikan segregatif
Keuntungan system pendidikan segregasi:
a.       Rasa ketenangan pada anak luar biasa
b.      Komunikasi yang mudah dan lancar
c.       Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.
d.      Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
e.       Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
f.       Sarana dan prasarana yang sesuai.
g.       Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan
h.      Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal
i.        Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal
j.        Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
k.      Harga diri anak luar biasa meningkat
l.        Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar
m.    Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen
n.      Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal

·         Kelemahan system pendidikan segregasi:v
a.       Sosialisasi terbatas
b.      Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
c.       Bebas bersaing
d.      Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
e.       Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
f.       Menumbuhkan disintegrasi
g.      Tidak terikat
h.      Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
i.        Memperlemah persatuan nasional
potensial untuk pengembangan otonomi

2.      Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa(normal) disekolah umum. Dengan demikian, melalui system integrasi anak berkebutuhan khusu bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
System pendidikan integrasi disebut juga system pendidikan terpadu, yaitu system pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana ketepaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada system keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keselurahan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut depdinas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah
a)      Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk- petunjuk khusus dalam  melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengejar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilain yang digunakan pada kelas biasa itu tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
b)      Kelas Biasa dengan Ruang Bimbing Khusus
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusu oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Mislanya anak tunanetra, di ruang bimbing khusus disediakan alat tulis Braille, peralatan orientasi mobilitas. keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c)      Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan local/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan social, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Kenyataan ini menunjukkan pada publik bahwa pendidikan inklusi yang kini berjalan belum terealisasi secara maksimal. Tidaklah mengherankan jika paradigma baru ini belum mampu diterima masyarakat sepenuhnya. Maka itu seperti yang telah tertulis, partisipasi masyarakat merupakan komponen yang sangat penting bagi keberhasilan program baru ini. Agaknya pemerintah harus lebih gencar dalam mengupayakan realisasi pendidikan inklusi ini, salah satunya melalui pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan inklusi.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi. Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.
     A.Kemungkinan Ancaman Terhadap Inklusi
Pendidikan inklusi bukanlah hal yang baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan inklusi adalah metode pendidikan yang memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menuntut ilmu bersama dengan anak pada umumnya dengan lingkungan yang sama. Dapat dikatakan pendidikan inklusi berbeda dengan SLB yang selama ini kita kenal sebagai solusi bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Menurut Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.Ed, P.si yang menyoroti perkembangan dunia pendidikan bahwa saat ini semakin familiar perihal anak berkebutuhan khusus. “Berbagai artikel dan tayangan di media massa mengangkat topik tentang autism, tunagrahita, dan berbagai bentuk kebutuhan khusus lainnya. Perhatian dari pemerintah pun tampak dari layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajmen Dikdasmen, 2006)” tulis Prof. Frieda dalam artikelnya yang berjudul “Gambaran Emosional Anak Berkebutuhan Khusus”.
Perkembangan sekolah inklusi ini ditandai dengan mulai banyaknya kita jumpai institusi-institusi pendidikan yang mulai menyediakan layanan pendidikan khusus bagi ABK. Namun apakah lembaga-lembaga layanan ini dapat menjadi solusi yang tepat bagi ABK? Bagi orang yang belum mengenal inklusi maka akan menganggap bahwa metode pengajaran ini akan memaksakan anak yang tidak mampu menjadi mampu karena menganggap bahwa metode yang diterapkan sama dengan yang diterapkan pada anak lain pada umumnya.
Ada beberapa argumen yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) Semua anak memiliki hak untuk belajar bersama. (2) Anak-anak seharusnya tidak dihargai atau didiskrimasikan dengan cara dikeluarkan dan disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka. (3) Orang dewasa yang cacat yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus menghendaki akhir dan segregasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini. (4) Tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
J. David Smith (2009, Inklusif Seklah Ramah untuk Semua) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sangat menekankan pada penilaian dari sudut kepemilikan anugerah yang sama dari setiap peserta didik, artinya setiap peserta didik memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan dengn persyaratan-persyaratan yang sama serta fasilias-fasilitas pendidikan yang terpisah bersifat tidak sama atau seimbang. Menurut Ifdlali (2010, Pendidikan Inklusi: Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus) untuk mengatasi semua permsalahan yang terdapat pada pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah regular yang dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Tahapan memodifikasi kurikulum diantaranya: alokasi waktu, isi atau materi kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar dan pengelolaan kelas. Dengan memodifikasi kurikulum maka akan terwujudnya tatanan sosial yang inklusif, tanpa harus mengesegmentasikan pendidikan. Guru mengembangkan kemampuan masing-masing siswa dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh siswa dengan kata lain pendidikan inklusi ini akan lebih memperhatikan perbedaan individu yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
Penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual.Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dandengan sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label“cacat”yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan. Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu.
Menurut Penasehat Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif (Pokjasif) Kota Depok,Yayuk pendidikan inklusi memberikan manfaat bagi ABK maupun siswa pada umumnya. Untuk ABK, diharapkan dengan adanya penggabungan kelas dan belajar bersama dengan anak pada umunya dapat memacu keberanian berkomunikasi dan sosialisasi. Sama halnya dengan anak pada umumnya dapat melatih kepedulian terhadap sesama, yang sesuai dengan pendidikan karakter yang menjadi prioritas pendidikan di Indonesia saat ini. Intinya,Education for All, persamaan hak mendapatkan pendidikan. Tujuan dari pendidikan inklusif ini sesuai dengan amanat Education for All yang dibasiskan pada Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 Pasal 1.
Diharapkan metode pembelajaran inklusi ini adalah solusi yang tepat bagi ABK untuk dapat mengenyam pendidikan yang sama, setara dan bersama dengan anak pada umumnya tanpa mehilangkan kelebihan yang mereka miliki. Sehingga ABK pun dapat menjadi bagian dari masyarakat yang tidak dipandang sebelah mata.

DAFTAR PUSTAKA
Suparno, Purwanto, Heri dan Edi Purwanto. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Banjarmasin: Dinas Pendidikan Kalimantan Selatan
Anonymous. 2015. “Education for All Pendidikan Bagi ABK”. http://www.kompasiana.com/deasysera/education-for-all-pendidikan-bagi-abk_54f6c7dca33311de5b8b4841. Diakses pada 20 September 2016